Thursday, July 2, 2009

PLAYING ANALYST: Susahnya berkampanye…(Pemilu itu tentang rakyat banyak, tentang pemilih..)

Oleh Satrio Wibowo, Pemerhati, Jakarta

Di tengah hingar bingarnya kampanye pilpres sekarang ini, mungkin ada orang yang berpendapat bahwa berkampanya itu mudah, asal ada uang maka semuanya beres. Padahal pada kenyataannya tidaklah demikian…

Jangan pernah meremehkan para kandidat pasangan calon pemimpin kita. Mereka adalah orang-orang yang luar biasa, dengan sejarah perjalanan hidup yang panjang, bukan orang-orang yang tiba-tiba muncul kemaren sore... Bayangkan mereka bisa ‘mengajak’ masyarakat untuk memilihnya. Mungkin ada yang dapat 10 juta suara, 20, 30, atau bahkan 50 juta. Artinya mereka berhasil mengajak lebih dari 100 juta pemilih terdaftar untuk memilih diantara mereka. Coba kalau kita…

Pada kenyataannya, tidaklah terlalu mudah mengajak seseorang untuk melakukan sesuatu “demi kita”, apalagi mengajak banyak orang/massa. Upayapun harus dilakukan, kata kata pun harus dipilih agar tidak ada perasaan yang tersinggung. Mungkin paling mudah adalah mengajak orang makan gratis. :)

Nah demikian juga dalam kampanye pilpres kali ini, berlomba-lomba untuk mengajak lebih dari 100 juta orang untuk memilih salah satu pasangan kandidat. Visi misi pun harus dipilih, program-program dipilah, janji-janji ditebarkan, dirangkum dalam dengan kata-kata yang terseleksi. Semuanya ingin terlihat sebagai yang terbaik, dengan visi misi dan program-program serta janji-janji yang paling bagus. Meskipun kalau didengar semuanya baik, para kandidat masih ingin terlihat lebih baik dari para kandidat yang lain.

Namun begitu belum menjadi jaminan pula masyarakat akan memilihnya, meskipun meraka menganggap program atau diri merekalah yang terbaik. Karena masih ada satu faktor lagi yang perlu dipertimbangkan, yaitu pemilih itu sendiri…

Siapa-siapa saja sih pemilih yang berjumlah lebih dari 100jt itu? Bagaimana latar belakangnya, tingkat sosial & pendidikannya, gender-nya, tingkat religiusnya dstr. Dan penting pula untuk memperhatikan –apa-apa yang paling nyaman/paling disetujui oleh pemilih menyangkut isu-isu tertentu. Karena kalau tidak memperhatikan hal yang terakhir tadi akan menjadi boomerang sendiri bagi para kandidat, meskipun secara teknis atau moral adalah yang paling baik (menurut mereka).

Ada beberapa contoh kasus isu kampanya yang potensial menjadi boomerang bagi para kandidat:

1. Masalah BLT -- Dulu orang beramai-ramai menghujat program BLT. Meskipun secara teknis (ilmu ekonomi, sosial) bisa diperdebatkan efek kebaikannya, namun ternyata masyarakat menyukainya. Sehingga kemudian beramai-ramai para kandidat/partai berebut sebagai pelopor/pencetus/pendukung program itu.

Mungkin yang ingin pemilih dengar bukan yang begini:

”kami berikan BLT agar dapat sekedar membantu kesulitan masyarakat..bla.bla.bla.." (kurang tegas, ragu2?)

ataupun yang begini:

“kami menentang BLT karena tidak mendidik masyarakat, dan menjadikan masyarakat bermental pengemis…"

atau malah yang begini…

“sayalah pelopor BLT. Saya yang merancang BLT sampai jam 3 pagi…."

Mungkin masyarakat pemilih lebih ingin mendengar yang begini:

“Hallo Ibu2, bapak2…apakah kalian setuju program BLT? Apakah kalian senang? Kalau ya maka akan saya tambah jumlahnya (meskipun pake duit utang ya he.he.he)"

Apapun pendapat ahlui ilmu ekonomi/sosial, pemilu adalah tentang rakyat banyak, tentang pemilih…

2. Masalah Jilbab – Ada yang ingin menggunakan isu jilbab ini (istri-istri kandidat) untuk menarik massa pemilih dengan semboyan lebih Islami, lebih bermoral dsb. Efektifkah? Nanti dulu …berapa banyak jumlah wanita pemilih kita? Berapa banyak yang berjilbab? Dan berita buruknya..berapa banyak wanita pemilih yang kurang peduli pake jilbab atau nggak, terus berapa banyak wanita pemilih yang tidak berjilbab merasa “tersinggung” karena mereka tidak memakainya dan merasa dianggap kurang Islami/bermoral… belum lagi suami-suami mereka...

Apapun pendapat kita tentang moral, pemilu itu tentang rakyat banyak , tentang pemilih…

3. Tentang masalah rokok. – Kebanyakan kandidat ingin membatasi masyarakat merokok demi kesehatan. Bahkan ada tim sukses yang mengatakan (kalo nggak salah dengar) jika pembatasan berhasil & perokok berkurang, ingin mengubah petani rokok menjadi petani lain atau pekerjaan lain, demikian juga dengan pekerja pabrik rokok. Nah, tertarikkah masyarakat pemilih dengan skenario model begitu? Belum tentu. Coba kita hitung-hitung lagi, berapa jumlah perokok di Indonesia? Berapa jumlah pemilih yang perokok? Kira-kira suka nggak apabila pemilih perokok itu nantinya akan dibatasi kegiatannya dengan peraturan ini itu…Isu ini memang dilematis.

Apapun pendapat ahli kesehatan mengenai bahaya merokok, pemilu itu tentang rakyat banyak, tentang pemilih…

4. Masalah konversi minyak tanah ke gas. – Dari segi teori ekonomi mungkin benar konversi minyak tanah ke gas, karena bisa mengurangi beban subsidi dsb. Proses konversi itupun telah berjalan, minyak tanah sedikik demi sedikit lenyap digantikan gas. Namun kalau para kandidat saling berebut klaim siapa pencetusnya..dibalik “keberhasilan” program konversi itu untuk menarik pemilih,…tunggu dulu. Karena betapapun program itu dianggap berhasil, tetap saja prosesnya tidak semulus jalan tol tapi melalui jalan yang berdarah-darah, terutama bagi masyarakat banyak, yang nota bene adalah pemilih. Mungkin masih ingat kasus kelangkaan minyak tanah, masyarakat harus antri panjang, bahkan ada yang sampai berhari-hari dengan harga yang sangat tinggi. Terus kemudian katanya suruh ganti gas, namun pada kenyataannya di lapangan gas juga langka, harga sangat tinggi. Ditambah lagi dengan masalah keamanan di mana banyak kompor gas konversi yang mleduk, bahkan ada yang sampai meninggal. Masalah-masalah seperti itu masyarakat masih ingat lho jadi hati-hati berebut klaim keberjhasilan, jangan-jangan malah nggak jadi memilihnya karena ketahuan siapa sebenarnya yang bikin susah selama ini…

Apapun pendapat ahli ekonomi, pemilu itu tentang rakyar banyak, tentang pemilih…

Mungkin ada baiknya untuk lebih memperhatikan “keinginan” rakyat banyak, pemilih itu sendiri, bukan hanya berwacana untuk kalangan tertentu / elitis yang lebih terbatas jumlahnya.

Kata kuncinya mungkin ada di benak rakyat/pemilih itu sendiri disamping tentunya substansi isu, cara penyampaian. Pencitraan? Mungkin nggak akan ada gunanya jika masyarakat pemilih ternyata lebih tahu / merasa tahu apa yang sebenarnya terjadi…

Jangan lupa jumlah pemilih terbanyak adalah rakyat kebanyakan, bukan para ahli ekonomi, analis politik, team kampanye, tentara dsb.

Bagaimanapun pemilu itu tentang rakyat banyak, tentang pemilih….